Beranda | Artikel
Yang Enggan Masuk Surga
Senin, 11 Maret 2019

YANG ENGGAN MASUK SURGA

Oleh
Ustadz Muhammad Alif, Lc

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :   كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى ، قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى ؟ قَالَ : مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua umatku akan masuk surga kecuali yang enggan, para Sahabat bertanya, “Wahai Rasûlullâh! Siapakah yang enggan?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Barangsiapa yang mentaatiku niscaya ia akan masuk surga, dan siapa yang bermaksiat kepadaku maka dia enggan (untuk masuk surga).” 

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam shahihnya Kitab al-I’tisham Bil Kitab Wa as-Sunnah, Bab al-Iqtida’ Bi Sunani Rasûlillâh no. 7280, al-Imam Ahmad dalam musnadnya no. 8728, dan al-Imam al-Hakim dalam al- Mustadrak, Kitab al-Iman no. 182. Dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu .

PERAWI HADITS
Pada masa jahiliyah ia bernama Abdus Syamsi (hamba matahari), ketika masuk Islam dan berjumpa dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merubah namanya menjadi Abdurrahman. Karena seseorang tidak boleh diberi nama dengan penghambaan kepada makhluk, seperti Abdus Syamsi (hamba matahari), Abdur Rasul (hamba Rasul), Abdul Husein (hamba Husein). Tetapi sebaik-baik nama adalah yang berarti penghambaan kepada Allâh, seperti Abdullah, Abdurrahman, Abdurrahim, Abdul Khaliq. Akan tetapi ia lebih di kenal dengan kunyah (panggilan) yaitu Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , sehingga kebanyakan orang tidak mengenal atau tahu namanya. Nama lengkapnya adalah Abdurrahman bin Shakhr dari keturunan Tsa’labah bin Salim bin Fahm bin Ghanam bin Daus al-Yamani. Dia lebih dikenal dengan panggilan “Abu Hurairah”, karena beliau memiliki kucing kecil yang sangat disukai.

Pada tahun ketujuh Hijriyah Abu Hurairah hijrah ke Madinah. Sesampainya di Madinah, beliau Radhiyallahu anhu terus mulazamah (mendampingi) dan mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  meninggal dunia. Itu berlangsung selama empat tahun, baik ketika di Madinah atau sedang safar. Abu Hurairah Radhiyallahu anhu terus mendampingi dan menghadiri majelis-majelis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bahkan beliau tinggal di masjid Nabi, oleh karena itu beliau termasuk golongan ahlus shuffah (yang tidak memiliki tempat tinggal).

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu sangat dikenal dengan kecepatan dan kekuatan hafalannya, bahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk Sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ketika sedang sakit sebelum meninggal Abu Hurairah Radhiyallahu anhu menangis, lalu ditanya, Apa yang menyebabkan engkau menangis wahai Abu Hurairah? Beliau menjawab, “Sesungguhnya aku tidak menangisi dunia ini, tetapi aku menangis karena jauhnya perjalanan dan sedikitnya bekal, karena aku nanti akan berhenti di akhir jalan yang akan menghantarkan ke surga atau neraka, sedangkan aku tidak tahu dimana nanti berada!”, maka tidak lama kemudian beliau Radhiyallahu anhu meninggal dunia.

Beliau meninggal tepatnya pada tahun 57 H, pada usia 78 tahun. Beliau hidup setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama 47 tahun, menghabiskan umurnya untuk beribadah, berda’wah di jalan Allâh, mengajarkan al-Qur’an dan menyebarkan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

MAKNA HADITS
Allâh Subhanahu wa Ta’ala  telah menjadikan syari’at Islam sebagai syari’at yang sempurna, universal dan kekal, sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا 

Pada hari ini telah aku sempurnakan untukmu agamamu (Islam), dan telah aku cukupkan untukmu nikmat-Ku dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu. [Al-Mâidah/5:3]

Syariat yang sempurna ini merupakan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan makna yang umum, karena sunnah memiliki empat keumuman makna, yaitu :

1. Segala apa yang ada di dalam al-Kitab dan as-Sunnah adalah sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sunnah disini berarti jalan atau manhaj yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada diatasnya. Sebagaimana sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

Barang siapa yang membenci sunnahku maka ia bukan termasuk dari golonganku. [HR. Al-Bukhari no. 5063 dan Muslim, no. 1401 dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu]

2. Sunnah yang berarti hadits jika digandengkan dengan al-Kitab. Sebagaimana sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا : كِتَابُ اللهِ وَسُنَّتِي

Sesungguhnya aku telah tinggalkan kepada kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat setelahnya yaitu kitabullah dan sunnahku. [HR. Al-Hakim 1/93 dari Ibnu Abbas c , dan dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Shahîh at-Targhîb, no. 40]

3. Sunnah yang berarti lawan dari bid’ah. Sebagaimana sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِيش مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُم بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِيِنَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثُةٍ بِدْعَة وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٍ

Maka sesungguhnya, siapa diantara kalian yang masih hidup setelahku, maka akan melihat perselisihan yang banyak, maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para khulafa’ yang mendapat bimbingan dan petunjuk, pegangglah erat-erat dan gigitlah dengan gigi geraham, dan jauhilah oleh kalian perkara yang baru (dalam agama) karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah pasti sesat. [HR. Abu Dawud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676 dari al-‘Irbadh bin Sâriyah Radhiyallahu anhu dan dishahihkan Syaikh al-Albani].

4. Sunnah yang berarti mandhûb (dianjurkan) dan mustahab (disukai). Seperti hukum bersiwak adalah sunnah, hukum puasa senin kamis adalah sunnah.

Maka kewajiban kita adalah ittiba’ (meneladani) sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Dan sungguh, inilah jalanku yang lurus, maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya, demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertaqwa. [Al-An’am/6:153]

Dan firman-Nya :

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا 

Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. [Al-Hasyr/59:7]

Karena Allâh menciptakan kita hanyalah untuk beribadah kepada-Nya. Sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaku. [Ad-Dzâriyat/51:56]

Ibadah tidak akan tercapai kecuali dengan ittiba’ (meneladani) Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ini menunjukkan bahwa mentaati Rasul-Nya adalah bentuk ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla . Sebagaimana dalam firman-Nya :

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ

Barangsiapa mentaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya dia telah menaati Allâh. [An-Nisâ/4:80]

Tanda cinta seorang hamba kepada Allâh dan Rasul-Nya adalah dengan ittiba’ (meneladani) Rasul-Nya. Artinya, jika ada orang yang mengaku cinta kepadanya tetapi sengaja menyelisihi sunnahnya n berarti ia pendusta atau jahil. Karena jika ia benar-benar mencintai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pasti akan mentaatinya. Karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah panutan yang harus diikuti, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sungguh, telah ada pada (diri) Rasûlullâh  itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allâh. [Al-Ahzâb/33:21]

Dan juga firman Allâh Azza wa Jalla :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allâh dan taatilah Rasul (Muhammad) dan ulil amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu. [An-Nisa/4:59].

Umat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terbagi menjadi dua, yaitu umat dakwah dan umat ijabah. Umat dakwah adalah orang-orang yang belum masuk Islam dan terus didakwahi. sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا

Katakanlah: Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allâh kepadamu semua. [Al-A’raf/7:158]

Sedangkan umat ijabah adalah orang-orang yang telah mengikuti dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan setia menjadi pengikutnya sampai akhir zaman. Sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allâh. [Ali-Imran/3:110]

Mentaati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah konsekuensi dari persaksian kita bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allâh. Maka orang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat wajib untuk mengikuti dan mentaati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala syariatnya. karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjanjikan bagi siapa saja yang mentaatinya maka balasannya adalah surga, tetapi sebaliknya yang berani bermaksiat dan menentang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ancamannya adalah neraka.

FAEDAH ITTIBA’ (MENELADANI) SUNNAH NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Wahai ahlul ittiba! inilah diantara faedah ittiba’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

1. Ittiba’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ibadah yang diperintahkan Allâh dan Rasul-Nya, dengannya seseorang akan mendapatkan balasan Surga. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى

Barangsiapa yang mentaatiku niscaya ia akan masuk surga, dan siapa yang bermaksiat kepadaku maka dia enggan (untuk masuk surga). [HR. Al-Bukhari no. 6851 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu])

2. Dengan ittiba’ kita akan memperoleh keberuntungan di dunia dan akhirat.

Sebagaimana Firman Allâh Azza wa Jalla :

فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ ۙ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Quran), mereka itulah orang-orang beruntung. [Al-A’raf/7:157]

3. Dengan ittiba’ akan memperoleh kehidupan yang baik di dunia dan akhirat.

Sebagaimana Firman Allâh Azza wa Jalla :

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [An-Nahl/16:97]

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah dalam (tafsirnya 2/538) berkata : “Ini merupakan janji Allâh bagi orang yang beramal shalih, yaitu beramal mengikuti al-Kitab dan Sunnah Nabi-Nya, dari kalangan laki-laki dan perempuan dan hatinya beriman kepada Allâh dan Rasul-Nya, serta amalan tersebut disyari’atkan oleh Allâh, maka Allâh akan beri kehidupan yang baik di dunia dan balasan yang lebih baik di akhirat”.

Amalan Shalih Dalam Al-Quran Memiliki Tiga Syarat Yang Harus Terpenuhi :

a. Dibangun di atas aqidah yang shahih. sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [An-Nahl/16:97]

Allâh Azza wa Jalla mensyaratkan keimanan, maka jika seseorang beramal tetapi tidak memiliki aqidah yang shahih niscaya tidak akan diterima amalan tersebut.

b. Harus didasari dengan niat ikhlas karena Allâh dalam beramal. sebagaimana Allâh Azza wa Jalla berfirman :

قُلِ اللَّهَ أَعْبُدُ مُخْلِصًا لَهُ دِينِي ﴿١٤﴾ فَاعْبُدُوا مَا شِئْتُمْ مِنْ دُونِهِ ۗ قُلْ إِنَّ الْخَاسِرِينَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ وَأَهْلِيهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ أَلَا ذَٰلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ

Katakanlah, Hanya Allâh yang aku sembah dengan penuh ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agamaku, maka sembahlah selain Dia sesukamu (wahai orang-orang musyrik), katakanlah, Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat. Ingatlah! Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata. [Az-Zumar 39:14-15]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Sesungguhnya amalan itu tergantung dengan niatnya, dan sesungguhnya setiap orang tergantung dengan apa yang ia niatkan. [HR. Al-Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907 dari Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu].

c. Harus sesuai contoh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sebagaimana Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. [Al-Hasyr/59:7]

Dan firman Allâh Azza wa Jalla :

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Rabbnya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia menyekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabbnya. [Al-Kahfi /18:110]

4. Dengan ittiba’ maka Allâh akan limpahkan keberkahan dan kelapangan bagi kaum Muslimin di negeri mereka.

Sebagaimana Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Dan sekiranya penduduk negri beriman dan bertakwa, pasti kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat kami), maka kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan. [Al-A’raf/7:96]

5. Dengan berittiba’ maka akan mendapat hidayah dan selamat dari Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ شَيْئَيْن مَا تَمَسَكْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا : كِتَابُ اللهِ وَسُنَّتِي

Sesungguhnya aku telah tinggalkan kepada kalian dua perkara jika kalian berpegang teguh denganya tidak akan tersesat setelahnya yaitu kitabullah dan sunnahku. [HR. Al-Hakim 1/9393 dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu, dan dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Targhib no. 40]

6. Bahwa dengan ittiba’ akan terlindungi dari perselisihan yang tercela, dan akan menghantarkan kepada jalan yang selamat.

Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِيش مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُم بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِيِنَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Maka sesungguhnya, siapa diantara kalian yang masih hidup setelahku, maka akan melihat perselisihan yang banyak, maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para khulafa’ yang mendapat bimbingan dan petunjuk, pegangglah erat-erat dan gigitlah dengan gigi geraham. [HR. Abu Dawud no. 4607 danTirmidzi no. 2676 dari al-Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu dan dishahihkan Syaikh al-Albani].

7. Ittiba’ adalah jalan selamat dari perpecahan yang para pelakunya terancam dengan Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُم مِنْ أَهْلِ الكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَينِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً ، وَإِنَّ هَذِهِ المِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ : ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ ، وَوَاحِدَةٌ فِي الجَنَّةِ ، وَهِيَ الجَمَاعَةُ

Ketahuilah sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari ahlil kitab berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan sesungguhnya umat ini akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga : yang tujuh puluh dua di neraka, sedangkan yang satu (selamat) di Surga, yaitu al-Jamâ’ah. [HR. Abu Dawud no. 4597 dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu anhuma dan dihasankan Syaikh al-Albani]

Dan yang dimaksud al-Jama’ah dalam hadits ini adalah berpegang teguh dengan apa yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sahabat berada di atasnya.

8. Dengan ittiba’ akan memperoleh cinta dan rahmat Allâh serta ampunan-Nya. sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Katakanlah (Muhammad), Jika kamu mencintai Allâh, ikutilah aku, niscaya Allâh mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allâh Maha Pengampun, Maha Penyayang. [Ali-Imran/3:31]

Dan firman-Nya :

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Rasul, agar kamu diberi rahmat. [An-Nur/24:56]

9. Dengan ittiba’ akan menjadikan seseorang menolak bid’ah dan menjau karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌ

Barang siapa yang mengerjakan amalan yang tidak ada contoh dari kami maka ia tertolak. [HR. Al-Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718, dan ini lafadz Muslim dari Aisyah Radhiyallahu anhuma].

Maka dengan semakin kuat dalam berittiba’ kepada sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka akan semakin jauh dari bid’ah.

10. Dengan ittiba’ akan memperoleh banyak pelajaran dari akhlaq Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . sebagaimana yang disebutkan Aisyah Radhiyallah anhuma :

فإنَّ خُلُقَ نَبيِّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسلَّمَ كَانَ القُرآنَ

Sesungguhnya akhlaq Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam al-Quran. [HR. Muslim no. 746 dari Aisyah Radhiyallahu anhuma]

Dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk menyempurnakan akhlaq manusia, maka seseorang yang berittiba’ dengan sunnahnya, niscaya ia akan mencontoh akhlaq Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan akan semakin mendekatkan dirinya kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Sebagaimana sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

Orang beriman yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya. [HR. Abu Dawud no. 4682 dan Tirmidzi no. 1162, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dan dishahihkan Syaikh al-Albani].

11. Akan menjadikan seseorang memiliki sifat pertengahan dalam beragama, karena agama Islam adalah agama pertengahan, tidak ekstrim dan tidak Maka seorang yang berittiba’ dengan sunnah akan beribadah kepada Allâh dengan sikap pertengahan dan adil. Karena Islam melarang sikap ekstrim dan berlebih-lebihan dalam segala hal, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِيَّاكُمْ وَالغُلُوُّ فِي الدِّينِ، فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالغُلُوِّ فِي الدِّيْن

Tinggalkanlah oleh kalian berlebih-lebihan dalam (perkara) agama, karena sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah berlebih-lebihan dalam agama. [HR. Ahmad no. 1851 dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, dan dishahihkan Syaikh al-Albani dalam as-Shahihah no. 1283].

12. Dengan ittiba’ akan menghantarkan seseorang kepada sikap kasih sayang, lemah lembut dan tawadhu’ kepada sesama Karena inilah yang dicontohkan dan diperintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَا يُؤمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لنَفْسِهِ

Tidaklah (sempurna) keimanan seorang diantara kamu sampai ia mencintai bagi saudaranya sebagaimana ia mencintai untuk dirinya sendiri. [HR. Al-Bukhari no. 13 dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu]

الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ

Orang-orang yang saling kasih sayang niscaya mereka akan dirahmati Yang Maha Pengasih, sayangilah yang ada di bumi niscaya kalian akan disayang oleh yang di langit (Allâh). [HR. Tirmidzi no. 1924 dari Abdullah bin Amru Radhiyallahu anhu  dan dishahihkan Syaikh al-Albani].

13. Orang yang menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak mau ittiba’ dengannya maka akan di timpa fitnah dan kehinaan di dunia dan akhirat.

Sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Maka hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintah Rasul takut akan ditimpa (fitnah) cobaan atau ditimpa azab yang pedih. [An-Nur/24:63]

Berkata al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah dalam (tafsirnya 3/288) : “Maksud perintah Rasul adalah perintah, jalan, manhaj, thariqah, sunnah dan syari’atnya shallAllâhu alaihi wasallam. Maka semua perkataan dan perbuatan harus ditimbang dengan perkataan dan perbuatan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika sesuai dengannya maka diterima dan jika menyelisishinya maka tertolak amalan dan pelakunya, siapapun dia”.

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَجُعِلَ الذُّلُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي ، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Dan dijadikan kerendahan dan kehinaan atas siapa yang menyelisihi perintahku (menentang sunnahku), dan barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari kaum tersebut. [HR. Ahmad no. 5115 dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma, dan dishahihkan Syaikh al-Albani dalam al-Irwa’ no. 1269].

Semoga kita semua senantiasa diberi taufiq dan hidayah oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala untuk terus berittiba’ dengan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan diberi istiqamah di atas tauhid dan sunnahnya sampai kita di wafatkan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Wallâhu a’lam.

BAHAN PUSTAKA:
1. Shahih al-Bukhâri, al-Imâm Muhammad bin Ismail al-Bukhâri, cet. Pertama, dar Ibnul Haitsam, th. 1425 H/ 2004 M, Cairo – Egypt.
2. Musnad al-Imam Ahmad, al-Imam Ahmad bin Hanbal, tahqiq Syaikh Syu’aib al-Arnaut, cet. Muassasah ar-Risalah, Bairut –Libanon.
3. Al-Mustadrak Ala as-Shahîhain, al-Imam al-Hakim, tahqiq Mushtafa Abdul Qadir ‘Atha, cet. Dar al-kutub al-Ilmiyah, Bairut – Libanon.
4. At-Tamassuk Bi as-Sunnah an-Nabawiyah, Syaikh Ibnu Utsaimin, cet. Dar al-Wathan, th. 1424 H, Riyadh
5. Wujubul Amal Bi Sunnati Rasûlillâh, Syaikh Ibnu Baz, cet. Dar al-Imam Ahmad, th. 1427 H/ 2006 M, Cairo Egypt.
6. Al-Hatsu Ala Ittiba’ as-Sunnah wa Tahdzir Min al-Bida’, Syaikh Abdul Muhsin bin Hamad Al-‘Abbad, cet. Pertama, Maktabah ar-Ridwan, th. 1426 H/ 2005 M, El-Bahirah Egypt.
7. Min Tsamarâti at-Tamassuk Bi as-Sunnah, Syaikh DR. Abdullah bin Abdurrahim al-Bukhâri, cet. Pertama, Dar Adwa’u As-Salaf, th. 1432 H/ 2011 M, Cairo Egypt.
8. Tafsir Ibnu katsir, al-Imam Abul Fida’ Isma’il bin Katsir ad-Dimasqi, cet. Al-maktabah al-‘Ashriyah, th. 1436 H/ 2015 M, Bairut – Libanon.
9. Shuwarun Min Hayati as-Shahabah, DR. Abdurrahman Ra’fat al-Basya, cet. Pertama, Dar an-Nafâis, th. 1412 H/ 1992 M, Bairut –

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XXI/1439H/2018M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/11307-yang-enggan-masuk-surga.html